Tuesday 30 April 2013

Pendaftaran Tanah



Dasar Hukum :

  • Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang ditetapkan dan diundangkan tanggal 18 Juli 1997 dan berlaku 3 bulan sejak tanggal diundangkan.
  • Ketentuan pelaksana terhadap PP no 24/1997 adalah Peraturan Menteri Negara Agraria nomor 3 tahun 1997

Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukua dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang bidang tanah dan satuan satuan rumah susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang bidang tanah yang sudah ada haknya dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun serta hak hak tertentu yang membebaninya (Pasal 1 PP no 24/1997)

Asas asas pendaftaran tanah diatur dalam pasal 2 PP no 24/1997 yaitu sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka.

Tujuan diselenggarakan perdaftaran tanah tercantum pada pasal 3 PP no.24/1997 adalah :
-    Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak hak lain yang terdaftar, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
Sebagai kelanjutan dari pemberian perlindungan hukum kepada para pemegang hak, dinyatakan dalam pasal 32 (2) PP 24/1997 bahwa ‘dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang aau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak yang merasa mempunyai hak atas tanah tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 tahun sejak diterbitkan sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan pada pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.

-         Untuk menyediakan informasi kapada pihak pihak yang berkepentingan, termasuk pemerintah, agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang bidang tanah dan satuan satuan rumah susun yang sudah terdaftar.

-         Untuk terselenggaranya tertib administrasi

Yang dimaksud dengan data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bengunan di atasnya. Sedangkan yang dimaksud dengan data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban beban lain yang membebaninya.

Pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali (initial registration) dan pemeliharaan data pendaftaran tanah (maintenance). Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran yang dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang belum didaftarakan berdasarkan pp 10/1961 dan PP 24/1997 yang dapat dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistimatik dan pendaftaran tanah secara sporadik.

Pendaftaran tanah secara sistimatik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakkan secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftaran dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan, yang diselenggarakan atas prakarsa pemerintah berdasarkan pada suatu rencana kerja. Hal ini diutamakan karena melalui cara ini akan dipercepat perolehan data mengenai bidang bidang tanah yang akan didaftarkan.

Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali menganai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau masal yang dilakukan oleh pihak yang berkepentingan, yaitu pihak yang berhak atas objek pendaftaran tanah yang bersangkutan atau kuasanya. 

Yang menjadi objek pendaftaran tanah diatur dalam pasal 9 PP 24/1997 yaitu :
-      bidang bidang tanah yang dipunyai dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai
-         tanah Hak Pengelolaan
-         tanah wakaf
-         Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
-         Hak Tanggungan
-         Tanah negara

Sistim pendaftaran tanah yang digunakan adalah sistem pendaftaran hak (registration of titles), yaitu dengan adanya buku tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan serta diterbitkannya sertifikat sebagai surat tanda bukti hak yang didaftar.

Sistim publikasi yang digunakan adalah sisim negatif yang mengandung unsur positif karena mengasilkan surat surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat sepanjang data fisik dan data yuridis yang ada sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Sehingga selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, maka data fisik dan data yuridis tersebut harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam perbuatan hukum sehari hari dan dalam perkara pengadilan.

Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi :
-         pengumpulan dan pengelolaan data fisik
-         pengumpulan dan pengelolaan data yuridis serta pembukuan haknya
-         penerbitan sertifikat
-         penyajian data fisik dan data yuridis
-         penyimpanan daftar umum dan dokumen

Dalam pengumpulan dan pengelolahan data fisik tindakan yang dilakukan adalah pengukuran dan pemetaan yang meliputi :
-         pembuatan peta dasar pendaftaran, ditujukan agar setiap bidang tanah yang didaftar dijamin letaknya secara pasti dan dapat direkonstruksi di lapangan setiap saat.
-    penetapan batas bidang bidang tanah, untuk memudahkan pengukuran tanah yang bersangkutan dimana dalam penetapan batas tersebut berdasarkan kesepakatan para pihak yang berkepentingan (para pemegang hak lain yang berbatasn dengan tanah tersebut)
-      pengukuran dan pemetaan bidang bidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran, dimana terhadap bidang tanah yang telah ditetapkan batas batasnya akan dilakukan pengukuran dan dipetakan pada peta dasar pendaftaran.
-     pembuatan daftar tanah, dimana terhadap bidang tanah yang sudah dipetakan, dibukukan dalam daftar tanah dengan memasukan informasi nomor bidang, lokasi dan penunjukan ke nomor surat ukur bidang tanah yang ada di wilayah pendaftaran.
-         pembuatan surat ukur.

Dalam kegiatan pengumpulan data yuridis diadakan perbedaan antara pembuktian hak hak baru, yaitu hak yang baru diberikan atau diciptakan sejak mulai berlakunya PP 24/1997 dan hak lama, yaitu hak atas tanah yang berasal dari konversi hak hak yang ada pada waktu mulai berlakunya UUPA dan hak yang belum didaftar menurut PP 10/1961.

Bahwa untuk keperluan pendaftaran :
  1. hak atas tanah baru data yuridisnya dibuktikan dengan :
1.     Penetapan pemberian hak dari Pejabat yang berwenang, bila pemberian hak tersebut berasal dari tanah negara atau tanah Hak Pengelolaan
2.     asli akta PPAT yang memuat pemberian hak tersebut oleh pemegang Hak Milik kepada penerima hak, bila mengenai Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah Hak Milik
  1. Hak Pengelolaan dibuktikan dengan penetapan pemberian hak pengelolaan oleh Pejabat yang berwenang
  2. Tanah wakaf yang dibuktikan dengan akta ikrar wakaf
  3. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang dibuktikan dengan akta pemisahan
  4. Pemberian Hak Tanggungan, yang dibuktikan dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan.

Untuk pembuktian hak hak atas tanah yang sudah ada dan berasal dari konversi hak hak lama, data yurudisnya dibuktikan dengan alat alat bukti berupa bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan.
Yang termasuk dalam alat bukti tertulis adalah (diatur dalam pasal 24 (1) PP 24/1997) :
-         grosse akta hak eigendom yang berdasarkan Overschrijving Ordonnantie (Staatblad 1834-27)
-         grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Ordonnantie sejak berlakunya UUPA
-         surat tanda bukti Hak Milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja
-         sertifikat Hak Milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria nomor 9 Tahun 1959
-         surat keputusan pemberian hak milik dari Pejabat yang berwenang
-    akta pemindahan hak yang dibuat dibawah tangan, yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan
-         akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT
-         akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf
-         risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang
-     surat penunjukan atau pemberian kavling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah
-         petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, ketitir atau Verponding Indonesia
-        surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan
-         alat pembuktian tertulis lainnya

Dalam hal bukti tertulis tersebut tidak lengkap atau tidak ada, maka pembuktian pemilikan dapat dilakukan dengan keterangan saksi dan atau keterangan yang bersangkutan. Bila tidak tersedia alat bukti pemilikan secara tertulis, keterangan saksi ataupun pernyataan dari yang bersangkutan yang dapat dipercaya, maka pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan pada bukti penguasaan fisik tanahnya selama 20 tahun atau lebih secara berturut turut oleh pemohon hak dengan syarat syarat :
-         bahwa penguasaan dan penggunaan tanah dilakukan dengan itikad baik, secara nyata dan terbuka
-     bahwa penguasaan dan penggunaan tanah tersebut tidak diganggu gugat dan dianggap diakui dan dibenarkan oleh masyarakat
-         bahwa penguasaan tanah tersebut diperkuat oleh kesaksian orang orang yang dapat dipercaya
-         telah diadakan penelitian mengenai kebenaran hal hal yang tersebut diatas
-         telah diberi kesempatan kepada pihak lain untuk mengajukan keberatan melalui pengumuman
-    dan kesimpulan mengenai status tanah dan pemegang haknya dituangkan dalam keputusan berupa pengakuan hak oleh Panitia Ajudikasi/Kepala Kantor Pertanahan

Dalam hal pelaksanaan pembukuan atas hak atas bidang tanah dibagi dengan berbagai cara bilamana :

  • Data fisik dan data yuridis sudah lengkap dan tidak ada yang disengketakan, dilakukan pembukuan buku tanah sesuai dengan ketentuan yang berlaku
  • Data fisik dan data yuridis belum lengkap dan tidak ada yang disengketakan, dilakukan pembukuan dengan catatan tentang hal hal yang belum lengkap. Catatan tersebut akan dihapus apabila diserahkan tambahan alat pembuktian atau telah lewat 5 tahun tanpa ada yang mengajukan gugatan ke pengadilan.
  • Data fisik atau data yuridis yang disengketakan tetapi tidak diajukan gugatan ke Pengadilan, dilakukan pembukuan dalam buku tanah dengan catatan mengenai adanya sengketa tersebut. Catatan tersebut akan dihapus bila diperoleh penyelesaian perdamaian, atau diperoleh putusan pengadilan dan atau selambat lambatnya 60 hari (untuk pendaftaran sistematik) dan 90 hari (untuk pendaftaran sporadik) setelah disampaikan pemberitahuan dari Ketua Panitia Ajudikasi/Kepala Kantor Pertanahan, tidak diajukan gugatan mengenai sengketa.
  • Data fisik dan dan atau data yuridis disengketakan dan diajukan gugatan ke pengadilan, tetapi tidak ada perintah untuk status quo atau putusan penyitaan dari pengadilan, maka pembukuan dilakukan dengan catatan tentang sengketa. Catatan tersebut dihapus bila diperoleh penyelesaian damai antara para pihak atau putusan pengadilan pengadilan tentang sengketa yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
  • Data fisik dan atau data yuridis disengketakan dan diajukan gugatan ke pengadilan dan ada perintah status quo atau putusan penyitaan dari pengadilan, maka dilakukan pembukuan dalam buku tanah dengan mengosongkan nama pemegang hak dan hal lain yang disengketakan serta mencatat didalamnya tentang adanya status quo atau perintah sita tersebut.

Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik atau data yuridis objek pendaftaran tanah yang telah didaftar. Peristiwa peristiwa hukum yang merupakan perubahan data yuridis diatur dalam pasal 94 (2) Peraturan Menteri 3/1997 sedangkan peristiwa yang merupakan perubahan data fisik diatur dalam pasal 94 (3) Peraturan Menteri 3/1997.

Sunday 14 April 2013

Pembagian Waris Menurut Hukum Perdata Barat



Prinsip Pewarisan dan Penggologan Ahli Waris
Menurut Hukum Perdata Barat prinsip dari pewarisan :

  1. Pada asasnya yang dapat beralih kepada para ahli waris ialah hak dan kewajiban pewarisan yang terletak dibidang hukum harta benda atau harta kekayaan ;
  2. Dengan meninggalnya seseorang maka seketika itu juga beralihlah semua hak dan kewajiban pewaris kepada para ahli warisnya sebagaimana diatur dalam Pasal 833 ayat (1) KUHPerdata
  3. Yang berhak untuk mewaris adalah keluarga atau ahli waris yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris. Oleh karena itu, pada awalnya suami atau isteri yang hidup terlama tidak mempunyai hak untuk mewaris.
  4. Pada asasnya harta peninggalan tidak boleh dibiarkan dalam keadaan tidak terbagi, kecuali jika hal itu terjadi, dengan persetujuan para ahli waris.
  5.  Pada asasnya setiap orang sekalipun bayi yang baru dilahirkan adalah cakap untuk mewaris, kecuali mereka yang dinyatakan tidak patut untuk mewaris. Bahkan lebih lanjut KUHPerdata Pasal 2 menyatakan bahwa bayi yang belum lahir (masih dalam kandungan) mempunyai hak waris.


Dalam Hukum Perdata Barat, pada hakekatnya pembagian waris (pewarisan) dapat terjadi berdasarkan 2 cara, yaitu :
-         Pewarisan yang terjadi karena ditunjuk oleh undang undang, yang disebut pewarisan ab-intestato dan para ahli waris disebut ahli waris abintestaat.
-         Pewarisan yang terjadi karena ditunjuk oleh testament atau surat wasiat.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, dalam hukum perdata barat dikenal 4 penggolongan ahli waris yaitu :
Golongan I :      anak  anak  dan  keturunan  serta  janda  atau  duda yang hidup terlama (Pasal 852 KUHPerdata)
Golongan II :    orang tua, saudara laki laki, saudara perempuan dan keturunan dari saudara  laki laki  dan  saudara  perempuan  (Pasal  854,  857,  859 KUHPerdata)
Golongan III :   Keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas sesudah orang tua (Pasal 853 KUHPerdata)
Golongan IV:    Keluarga sedarah lainnya dalam garis menyamping sampai derajat ke enam (Pasal 858 KUHPerdata)

Undang-undang tidak membedakan ahli waris laki-laki dan perempuan, juga tidak membedakan urutan kelahiran, hanya ada ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama jika masih ada maka akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam dalam garis lurus ke atas maupun ke samping. Demikian pula golongan yang lebih dekat derajatnya menutup yang lebih jauh derajatnya. Sedangkan ahli waris menurut surat wasiat atau testamen, jumlahnya tidak tentu sebab ahli waris macam ini bergantung pada kehendak si pembuat wasiat.

Golongan pertama: mereka yang pertama kali dipanggil oleh Undang Undang sebagai ahli waris adalah anak dan keturunannya beserta suami atau isteri dari pewaris. Anak-anak mewarisi untuk bagian yang sama besarnya dan suami atau isteri yang hidup terlama mewarisi bagian yang dengan anak. Pasal 852 KUHPerdata menjelaskan bahwa anak-anak atau sekalian keturunan mereka, baik dilahirkan dari lain lain perkawinan sekalipun, mewaris dari kedua orang tua, kakek atau nenek atau semua keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus keatas, dengan tiada perbedaan antara laki dan perempuan dan tiada perbedaan berdasarkan kelahiran lebih dahulu. Mereka mewaris kepala demi kepala, jika dengan si meninggal mereka bertalian keluarga dalam derajat ke satu dan masing-masing mempunyai hak karena diri sendiri dan mereka mewaris pancang demi pancang, jika sekalian mereka atau sekedar sebagian mereka bertindak sebagai pengganti.

Diantara keturunan, orang lebih dekat derajatnya kecuali pelaksanaan aturan penggantian, menyampingkan orang yang lebih jauh derajatnya. Apabila cucu mewarisi untuk diri sendiri, mereka mewarisi untuk bagian yang sama besarnya. Sebagai contoh harta peninggalan suami atau isteri, dua orang anak, dan tiga orang cucu dari anak yang meninggal lebih dahulu, maka harta peninggalannya dibagi dalam empat bagian yang sama besarnya. Suami atau isteri yang hidup terlama, tiap anak dan ketiga cucu bersama-sama menerima seperempat. Apabila ayah dari ketiga cucu itu tidak meninggal lebih dahulu, atau ia tidak pantas, atau menolak haknya untuk mewarisi untuk pewaris, maka harta peninggalan dibagi antara suami atau isteri yang hidup terlama dan kedua anak dalam tiga bagian yang sama besarnya. Apabila suami atau isteri dari pewaris berikut ketiga anaknya telah meninggal dunia terlebih dahulu maka ketiga cucu tersebutlah yang menjadi ahli waris pewaris dengan besar bagian masing masing adalah 1/3 (satu per tiga) dari harta peninggalan pewaris. Disini ketiga cucu tersebut mewaris tetapi bukan dengan penggantian melainkan karena kedudukannya sendiri.

Golongan kedua: orang tua, saudara dan keturunan dari saudara. Perolehan warisan dari golongan kedua diatur oleh undang undang dalam Pasal 859 KUHPerdata. Apabila seorang meninggal dunia tanpa meninggalkan suami/isteri atau keturunan, maka menurut KUHPerdata yang terpanggil sebagai ahli waris adalah orang tuanya, saudara dan keturunan dari saudara. Apabila hanya orang tua saja yang ada, maka orang tua tersebut masing-masing mewarisi setengah, apabila ada saudara, maka orang tua dan saudara mewarisi untuk bagian yang sama, tetapi dengan pengertian, bahwa orang tua itu tidak akan menerima kurang dari ¼ harta peninggalan. Jadi bagi orang tua sama saja apakah disamping dia berada tiga atau enam saudara dari pewaris. Apabila pewaris hanya meninggalkan satu orang saudara dan kedua orang tuanya maka pada pokoknya masing-masing mereka itu mendapat 1/3 bagian; dan apabila yang ditinggalkan satu orang tua dan satu orang saudara, maka masing-masing mewarisi setengah. Namun bila pewaris mempunyai saudara lebih dari dua orang dan orang tua pewaris masih hidup maka orang tua pewaris tersebut memperoleh ¼ bagian sedangkan sisanya dibagi rata untuk masing masing saudaranya. Apabila pewaris meninggal tanpa meninggalkan orang tua maka saudara-saudaranya mewarisi seluruh harta warisan.

Golongan ketiga: kakek dan nenek serta leluhur selanjutnya merupakan golongan ketiga dari ahli waris. Apabila pewaris tidak meninggalkan suami/isteri, keturunan, orang tua, saudara dan keturunan dari saudara, maka harta peninggalan itu sebelum dibagi, dibelah lebih dahulu (kloving). Setengah dari harta peninggalan diberikan kepada sanak keluarga dipihak ayah, dan setengah lagi kepada yang dipihak ibu. Setiap bagian itu dibagi suatu harta peninggalan yang berdiri sendiri.

Kloving (pembelahan) didalam KHUPerdata baru terjadi apabila tidak ada lagi ahli waris golongan kedua termasuk keturunan dari saudara laki-laki dan perempuan dari pewaris. Sebagaimana dijelaksan sebelumnya setiap bagian yang dibagi melalui kloving tersebut adalah suatu harta peninggalan yang berdiri sendiri. Sehingga membawa kemungkinan bahwa dalam garis keturunan yang satu, yang menerima harta peninggalan adalah ahli waris dalam golongan keempat, sedangkan dalam garis keturunan yang lain yang menerima harta peninggalan adalah ahli waris dari golongan ketiga.

Disinilah letak arti kloving. Akibat dari sifat mandiri masing-masing bagian adalah: Apabila ada penolakan dari salah seorang ahli waris, maka hal ini hanya berarti didalam garis ahli waris yang menolak itu. Hanya apabila didalam salah satu garis tidak ada lagi keluarga sedarah dari derajat itu, maka seluruh warisan jatuh pada keluarga sedarah dari garis lainnya. Dalam tiap-tiap garis dilaksanakanlah aturan yang biasa sehingga orang-orang dari golongan ke empat barulah dipanggil, apabila tidak ada ahli waris golongan. Dalam tiap golongan orang yang lebih dekat derajatnya menyampingkan yang lain sehingga apabila dalam garis keturunan ayah ada kakek pewaris, dan orang tua dari nenek pewaris, maka kakek pewaris menyampingkan kedudukan orang tua dari nenek pewaris (disini nenek pewaris telah meninggal terlebih dahulu) yang karena undang-undang tidak mengenal penggantian dalam garis keatas. Besarnya bagian yang diterima oleh masing masing ahli waris dalam satu garis keturunan adalah sama besarnya.

Golongan keempat: sanak keluarga selanjutnya dalam garis menyamping. Sesudah garis keatas dipanggillah sanak keluarga dari garis menyamping diluar golongan kedua. Sama seperti ahli waris golongan ketiga, harta peninggalan terlebih dahulu dibagi (kloving) terlebih dahulu menjadi dua bagian. Sanak saudara yang lebih dekat derajatnya dengan pewaris menyampingkan sanak saudara yang lain. KUHPerdata menetapkan sanak saudara menyamping yang dapat mewaris hanyalah sampai derajat ke enam.

Oleh karena itu apabila dalam garis menyamping keluarga yang bertalian kekeluargaannya berada dalam suatu derajat yang lebih jauh dari derajat keenam maka mereka tidak mewaris. Kalau hal ini terjadi pada satu garis keturunan, maka bagiannya akan menjadi hak keluarga pada garis keturunan yang lain, kalau orang itu mempunyai hak kekeluargaan dalam derajat yang tidak melebihi derajat keenam.
           
Selain daripada keempat penggolongan ahli waris tersebut diatas, yang dapat menjadi ahli waris adalah anak luar kawin yang telah diakui sah oleh pewaris, dimana besarnya bagian yang diperoleh dari anak luar kawin tersebut tergantung pada dengan golongan manakah ia turut mewaris. Pasal 862 sampai dengan Pasal 873 KUHPerdata mengatur pewarisan dalam hal adanya anak luar nikah. Pasal 863 KUHPerdata berbunyi: jika yang meninggal meninggalkan keturunan yang sah atau seorang suami atau isteri, maka anak-anak luar nikah mewarisi 1/3 dari bagian yang harus mereka dapat, andaikata mereka anak anak yang sah, jika si meninggal tak meninggalkan keturunan, suami atau isteri akan tetapi meninggalkan saudara laki-laki dan perempuan atau keturunan mereka mewaris ½ dari warisan dan jika pewaris hanya meninggal sanak saudara dalam derajat yang lebih jauh maka bagian anak luar kawin yang diakui adalah sebesar  ¾ bagian.

Jadi Pasal 863 KUHPerdata ini membatasi hak mewaris anak luar nikah pada ½ (separuh) warisan, apabila ia mewaris bersama orang tua pewaris, saudara laki-laki dan perempuan atau keturunan mereka (golongan II). Apabila anak luar kawin mewaris bersama sama dengan golongan III dan IV maka ia berhak atas ¾ bagian dari harta peninggalan.

Dalam menentukan bagian anak luar nikah, harus diperhatikan Pasal 285 ayat 1 KUHPerdata, yang menentukan pengakuan yang dilakukan sepanjang perkawinan oleh suami isteri atas keuntungan anak luar nikah, yang sebelum menikah olehnya diperbuahkan pada orang lain dari suami isteri itu tidak dapat membuat kerugian pada suami isteri itu maupun anak anaknya yang dilahirkan dalam perkawinan itu.

Maksudnya bahwa demi kepentingan suami/isteri yang hidup terlama, anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan itu, maka pengakuan itu harus tidak diperhatikan sehingga hak dari suami/isteri yang hidup terlama, anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan itu harus dihitung seolah-olah anak luar nikah itu tidak diakui (tidak ada anak luar kawin).

Terhadap anak zinah dan anak sumbang, berdasarkan Pasal 867 KUHPerdata mereka tidak dapat mewaris dari orang yang membenihkannya namun undang undang memberikan hak pada mereka untuk menuntut nafkah untuk hidup yang besarnya ditentukan menurut kekayaan ayah/ibunya serta jumlah dan keadaan para ahli waris yang sah tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 868 KUHPerdata.

Mengenai golongan pertama yang meliputi suami/isteri yang hidup terlama dan keturunannya, mendapatkan bagian yang sama besar. Sedangkan golongan kedua terdiri dari bapak, ibu, saudara dan keturunan saudara dari orang yang meninggal dunia dimana mereka hanya akan menjadi ahli waris apabila tidak ada ahli waris dari golongan pertama.

Monday 8 April 2013

Perjanjian Perkawinan, Part 2



Isi Perjanjian Perkawinan

Mengenai bentuk dan isi perjanjian perkawinan, sebagaimana halnya dengan perjanjian-perjanjian lain pada umumnya dimana kepada kedua belah pihak diberikan kemerdekaan seluas luasnya kecuali beberapa larangan yang termuat dalam undang-undang dan tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan.

Suatu perjanjian perkawinan misalnya, dapat berupa hanya menyingkirkan suatu benda saja (misalnya suatu rumah) dari percampuran kekayaan, tetapi dapat juga menyingkirkan segala percampuran kekayaan. Dalam KUHPerdata, ada tiga kemungkinan dari isi perjanjian perkawinan yaitu :
1.      Tidak ada sama sekali persatuan harta kekayaan (pasal 140 ayat 2 KUHPerdata), dalam hal ini dapat ditetapkan jumlah yang harus disumbangkan oleh si isteri setiap tahun dari harta kekayaan pribadinya untuk biaya rumah tangga dan pendidikan anak anak.
2.      Persatuan hasil dan pendapatan (pasal 164 KUHPerdata), dalam hal ini harta persatuan hanya meliputi hasil dan pendapatan saja, tidak termasuk kerugian. Sehingga bila terjadi kerugian maka hal tersebut menjadi tanggung jawab suami sebagai kepala rumah tangga.
3.      Persatuan untung dan rugi (pasal 155 KUHPerdata), dimana segala keuntungan dan kerugian yang dialami selama perkawinan dipikul oleh suami dan isteri secara bersama sama. Sehingga bila perkawinan tersebut berakhir maka akan diadakan perhitungan dimana hasilnya (baik berupa keuntungan ataupun kerugian) akan dibagi dua.

Namun sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, dengan diberlakukannya Undang Undang Perkawinan (UUP), ruang lingkup perjanjian perkawinan diperluas tidak hanya menyangkut tentang harta kekayaan saja melainkan dapat memuat segala hal yang dianggap perlu oleh masing-masing pihak sepanjang tidak melanggar undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

Dalam perkembangan dimasyarakat, perluasan ruang lingkup tersebut mulai dimanfaatkan sehingga perjanjian perkawinan yang dibuat tidak hanya berfokus pada soal harta, tetapi juga mengenai kepedulian seberapa banyak dan seberapa lama dukungan yang akan didapat dari pasangan. Dengan meningkatnya taraf hidup, banyak pula calon pasangan memasukan tentang minat dalam perjanjian perkawinan sebagai contoh tetap diijinkan menekuni hobi ataupun koleksi yang tidak bisa dibilang murah. Beberapa pasangan mencantumkan pula tentang hak perwalian anak bila terjadi perceraian, termasuk didalamnya tentang tunjangan hidup untuk anak dan mantan isteri. Namun secara garis besar, perjanjian perkawinan selalu identik dengan perpisahan harta kekayaan dalam perkawinan. 

Selain larangan umum yang berlaku bagi setiap perjanjian untuk memasukan pasal-pasal yang melanggar ketertiban umum atau kesusilaan, KUHPerdata juga memuat beberapa pasal tentang apa yang tidak boleh dimasukkan dalam perjanjian perkawinan. Salah satunya adalah larangan untuk membuat perjanjian yang menghapuskan kekuasaan suami sebagai kepala keluarga di dalam perkawinan atau kekuasaannya sebagai ayah atau menghilangkan hak hak seorang suami atau isteri yang ditinggal mati. Selanjutnya ada larangan untuk membuat suatu perjanjian yang menyatakan bahwa suami akan memikul suatu bagian yang lebih besar dalam aktiva daripada bagian dalam pasiva. Akhirnya ada juga larangan untuk memperjanjikan bahwa hubungan suami isteri tunduk terhadap hukum dari negara asing. 

            Perubahan atas isi dari perjanjian perkawinan setelah dilangsungkannya perkawinan tidak diperbolehkan menurut KUHPerdata (pasal 149) dengan cara apapun juga. Namun menurut UUP (pasal 29 ayat 4), perubahan tersebut dimungkinkan bila adanya persetujuan antara kedua belah pihak serta tidak merugikan pihak ketiga. Namun perubahan perjanjian perkawinan pada prakteknya jarang ditemui.

Syarat Syarat Sahnya Perjanjian Perkawinan

            Berdasarkan sistem hukum Indonesia, hukum perdata dapat berlaku melalui perjanjian antar para pihak. Hal ini berarti perjanjian yang dibuat oleh para pihak menetapkan diterimanya kewajiban hukum untuk dilaksanakan oleh para pihak dan mengikat pihak yang membuatnya. Dalam hal ini perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya dan perjanjian menciptakan hubungan hukum antara pihak–pihak yang membuatnya. Hubungan hukum mengandung kewajiban dan hak yang bertimbal balik antara para pihak.

Mengenai syarat-syarat perjanjian perkawinan tidak diatur secara jelas oleh UUP oleh karena itu, dalam pembuatan perjanjian perkawinan ini masih mengacu pada KUHPerdata. KUHPerdata hanya menetapkan beberapa ketentuan yang disyaratkan untuk membuat perjanjian perkawinan.

a. Syarat-syarat yang mengenai diri pribadi
Perjanjian perkawinan merupakan suatu perjanjian antar pihak sebagaimana telah dijelaskan diatas, karenanya harus memenuhi persyaratan umum suatu perjanjian, kecuali dalam peraturan khusus ditentukan lain. Sedangkan syarat-syarat sahnya suatu perjanjian (pasal 1320 KUHPerdata) adalah :
-         harus disetujui oleh masing masing pihak
-         masing masing pihak harus cakap dimata hukum
-         isi perjanjian harus tentang hal yang tertentu dan
-         isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang berlaku

Mengenai kecakapan untuk mengikat diri, oleh KUHPerdata telah ditetapkan bahwa orang yang telah dewasa (berumur 21 tahun) mempunyai kecakapan bertindak, yang meliputi tindakan untuk mengikatkan diri secara sah kepada orang lain. Hal ini juga berlaku dalam pembuatan akta perjanjian kawin, calon suami-istri yang telah mencapai umur 21 tahun berwenang untuk membuat perjanjian.

Namum khususnya dalam pembuatan perjanjian kawin, KUHPerdata pasal 151 memberikan kemungkinan bagi mereka yang belum mencapai usia dewasa, untuk membuat perjanjian, asalkan:

  • Yang bersangkutan telah memenuhi syarat untuk melangsungkan pernikahan.
  • Dibantu oleh mereka yang izinnya diperlukan untuk melangsungkan pernikahan.
  • Jika perkawinannya berlangsung dengan izin hakim, maka rencana perjanjian kawin tersebut (konsepnya) harus mendapat persetujuan pengadilan.


b. Syarat-syarat mengenai cara pembuatan dan mulai berlakunya perjanjian perkawinan. Pasal 147 KUHPerdata dengan tegas menetapkan, perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris dengan ancaman kebatalan. Hal itu dimaksudkan agar perjanjian perkawinan dituangkan dalam bentuk akta otentik, karena perjanjian perkawinan mempunyai konsekuensi luas dan dapat menyangkut kepentingan keuangan yang besar sekali.

Perjanjian Perkawinan mulai berlaku antara suami dan isteri, pada saat pernikahan ditutup di depan Pegawai Pencatatan Sipil dan mulai berlaku terhadap orang-orang pihak ketiga sejak hari pendaftarannya pada pegawai pencatatan yang berwenang. Setelah perjanjian dibuat, orang tidak diperbolehkan untuk menyimpang dari hal-hal yang telah ditetapkan dalam perjanjian tersebut. 

Suatu perjanjian perkawinan harus diikuti langsung oleh perkawinan antara kedua belah pihak. Sehingga jika salah satu pihak menikah dengan orang lain terlebih dahulu dengan orang lain yang kemudian diikuti dengan pernikahan dengan orang yang mana perjanjian perkawinan tersebut dibuat maka perjanjian tersebut tidak dapat berlaku.

Syarat utama sahnya suatu perjanjian perkawinan adalah harus dibuat sebelum atau pada saat dilangsungkannya perkawinan. Ketentuan ini menimbulkan pertanyaan bagi mereka yang beragama non-Islam karena sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang bahwa perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya yang pada praktiknya kemudian akan diteruskan kepada pegawai pencatatan yang mana perkawinan tersebut akan dicatat secara resmi dan oleh kantor pencatatan sipil akan dikeluarkan suatu akta perkawinan. Bagi mereka yang beragama Islam, pegawai pencatatan yang dimaksud adalah pegawai KUA yang hadir dalam pernikahan mereka. Namun lain halnya  pada mereka yang beragama non-Islam dimana dalam upacara pernikahan mereka (yang sesuai dengan agama masing-masing), pegawai pencatatan sipil tidak hadir dan setelah upacara pernikahan tersebut selesai, suami dan isteri baru akan mencatatkan perkawinan mereka pada kantor catatan sipil.

Permasalahan yang terjadi adalah bilamana pencatatan perkawinan tersebut dilakukan pada hari yang berbeda. Dapatkan suatu perjanjian perkawinan dilaksanakan setelah upacara perkawinan namun sebelum perkawinan tersebut dicatatkan pada pegawai pencatatan sipil tersebut? Mengingat ketentuan yang tercantum pada UUP pasal 2 ayat (1) tentang sahnya suatu perkawinan bila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan adalah agama yang dianut oleh calon mempelai. Namun demikian, perkawinan itu harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika tidak dicatatkan, maka walaupun sah menurut hukum agama, perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara karena menurut hukum negara pencatatan juga merupakan syarat sahnya perkawinan bukan sekedar tindakan administratif saja.

Namun dalam praktik di masyarakat, tanggal perkawinan yang diakui secara umum adalah tanggal perkawinan yang tercantum dalam akta perkawinan ataupun buku nikah sehingga akta perkawinan tersebut dianggap sebagai suatu bukti formil. Dalam praktek pengadilan terdapat pendapat bahwa sah tidaknya suatu perkawinan hanya tergantung kepada hukum masing masing agama dan kepercayaannya, sedangkan pencatatan perkawinan hanyalah merupakan tindakan administratif saja.

Monday 1 April 2013

Perjanjian Perkawinan, Part 1

Latar Belakang Perjanjian Perkawinan

Perjanjian Perkawinan adalah kontrak antara dua orang sebelum perkawinan dimana isi dari perjanjian tersebut bermacam macam tetapi mayoritas berkenaan dengan pembagian harta dan pendapatan. Perjanjian perkawinan dibuat dengan berbagai alasan, khususnya dalam beberapa tahun terakhir dimana banyak masyarakat dari kalangan menengah ke atas yang bergerak di bidang wiraswasta mulai membuat perjanjian perkawinan. Sebagai contoh anak seorang pemilik perusahaan yang akan menikah dengan salah satu staf yang dipercaya mengelola perusahaan membuat perjanjian perkawinan untuk menjaga profesionalisme, hubungan, dan citra mereka. Hal ini dilakukan untuk menghindari tuduhan bahwa salah satu pihak ingin mendapatkan kekayaan pihak lain terutama dari hasil pembagian harta gono-gini (harta bersama yang diperoleh selama perkawinan).

Perjanjian perkawinan banyak dipilih calon pasangan yang salah satu atau keduanya mempunyai usaha yang beresiko tinggi sehingga bilamana usahanya mengalami kegagalan maka harta milik pasangannya tidak dapat disita. Perjanjian perkawinan juga banyak dibuat oleh pasangan dalam perkawinan campuran. Hal ini ditempuh karena di dalam hal perkawinan campuran, harta bersama tidak boleh berupa hak milik atas tanah. Oleh karena itu meskipun seorang yang berwarga negera Indonesia yang menikah dengan orang yang berwarga negara asing di Indonesia  tidak dapat memperoleh hak milik atas tanah karena harta yang ia peroleh tersebut masuk dalam harta bersama yang mana secara otomatis setengahnya milik pasangannya yang berwarga negara asing tersebut. Sedangkan peraturan pertanahan di Indonesia, tidak dimungkinkan warga negara asing untuk memiliki tanah dengan status Hak Milik ataupun Hak Guna Bangunan.

Dengan dibuatnya perjanjian perkawinan yang isinya tentang pemisahan harta kekayaan bagi mereka yang melakukan perkawinan campuran, maka suami atau isteri yang berwarga negara Indonesia selain memiliki penguasaan penuh terhadap harta kekayaannya juga mampu melakukan tindakan hukum secara leluasa khususnya dalam memperoleh harta dalam bentuk Hak Milik ataupun Hak Guna Bangunan atas tanah tanpa kuatir haknya akan gugur dan menjadi tanah milik negara

Dalam hal membuat perjanjian perkawinan perlu dipertimbangkan beberapa aspek yaitu:
1.  Keterbukaan dalam mengungkapkan semua detil kondisi keuangan baik sebelum maupun sesudah perkawinan. Mulai dari jumlah harta bawaaan masing-masing pihak sebelum menikah dan bagaimana potensi pertambahannya sejalan dengan meningkatnya penghasilan atau karena hal lain misalnya menerima warisan sampai jumlah hutang bawaan masing-masing pihak sebelum menikah, bagaimana potensi hutang setelah menikah dan siapa yang bertanggung jawab terhadap pelunasan hutangnya. Tujuannya agar dapat diketahui dengan persis apa yang akan diterima dan apa yang akan di korbankan jika perkawinan berakhir, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan nantinya.
2.   Kerelaan, perjanjian perkawinan harus disetujui dan ditandatangani oleh kedua belah pihak secara sukarela tanpa paksaan. Sehingga jika salah satu pihak merasa dipaksa, karena diancam atau berada dalam tekanan sehingga terpaksa menandatanganinya, perjanjian perkawinan bisa terancam batal karenanya,
3.      Pejabat yang objektif. Pilihlah pejabat berwenang yang yang bereputasi baik dan bisa menjaga obyektifitas, sehingga dalam membuat isi perjanjian perkawinan bisa tercapai keadilan bagi kedua belah pihak,
4.      Notariil. Perjanjian perkawinan sebaiknya tidak dibuat dibawah tangan tetapi harus disahkan oleh notaries. Kemudian harus dicatatkan pula dalam lembaga pencatatan perkawinan. Artinya pada saat pernikahan dilangsungkan perjanjian perkawinan juga harus disahkan pula oleh pegawai pencatat perkawinan (KUA mauapun Kantor Catatan Sipil).

Dasar Hukum Perjanjian Perkawinan

Keberadaan perjanjian perkawinan muncul pertama kali melalui Kitab Undang Undang Hukum Perdata (disingkat KUHPerdata) yang mulai berlaku di Indonesia pada bulan Januari 1848 yaitu pada buku I bab VII dalam pasal 139 yang menentukan bahwa para calon suami isteri dengan perjanjian perkawinan (dalam KUHPerdata disebut dengan perjanjian kawin) dapat menyimpang dari peraturan perundang-undangan mengenai harta bersama (persatuan bulat), sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan tata susila yang baik atau dengan tata tertib umum dan mengindahkan pula ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undang-undang.

Mengingat keadaan hukum Indonesia yang bersifat prularisme, perjanjian perkawinan tersebut hanya berlaku pada golongan tertentu saja yaitu golongan yang tunduk terhadap KUHPerdata yang termasuk didalamnya adalah mereka yang merupakan golongan Eropa, golongan Timur Asing dan golongan Tiong Hoa. Sedangkan untuk golongan Bumiputra, perjanjian perkawinan tidak dikenal karena hukum yang berlaku terhadap mereka adalah hukum adatnya masing masing. Dengan demikian bila seseorang yang berasal dari golongan Bumiputra hendak mengadakan perjanjian perkawinan maka ia menundukkan diri terhadap hukum yang berlaku dalam KUHPerdata. Penundukan tersebut dapat dilakukan secara diam-diam maupun terbuka dan dapat berupa penundukan sebagian terhadap KUHPerdata (yaitu terhadap perjanjian perkawinan) ataupun penundukan secara menyeluruh.

Namun dengan disahkannya Undang Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), yang dalam pasal 29 disebutkan bahwa pada waktu atau sebelum perkawinan calon suami isteri atas persetujuan bersama membuat suatu perjanjian perkawinan, perjanjian perkawinan berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia. Namun dalam UUP tersebut tidak disebutkan secara rinci perjanjian tersebut mengenai apa. Oleh karena tidak adanya pembatasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa isi perjanjian tersebut luas sekali dan mengenai berbagai hal. Terlebih lagi dalam peraturan pelaksanannya tidak mengatur lebih lanjut bagaimana tentang perjanjian perkawian dimaksud, hanya disebutkan bahwa bila terdapat perjanjian perkawinan maka hal tersebut harus dimuat dalam akta perkawinan hal ini berarti bahwa perjanjian perkawinan harus diadakan sebelum dilangsungkannya perkawinan.

Mengenai perjanjian perkawinan yang diatur dalam pasal 29 UUP yang berbunyi :
  1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan, setelah isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
  2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
  3. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan berlangsung.
  4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Oleh karena ketentuan yang tercantum dalam UUP tentang perjanjian perkawinan tidak mengatur secara detail, maka masyarakat masih menggunakan KUHPerdata terhadap ketentuan-ketentuan yang belum diatur dalam UUP.

Dalam penjelasan pasal 29 UUP menyatakan bahwa perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk taklik talak. Namun dalam pasal 11 Peraturan Menteri Agama nomor 3 tahun 1975 menyebutkan suatu peraturan yang bertentangan. Hal itu diungkapkan sebagai berikut.
  1.  Calon suami isteri dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
  2. Perjanjian yang berupa taklik talak dianggap sah kalau perjanjian itu diucapkan dan ditandatangani oleh suami setelah akad nikah dilangsungkan.
  3. Sighat taklik talak ditentukan oleh Menteri Agama. 
Isi pasal 11 tersebut, dirinci oleh pasal 45 sampai pasal 52 Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya akan disingkat KHI) yaitu kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk : (a) taklik talak dan (b) perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Mengenai ketentuan taklik talak, dijelaskan dalam pasal 46 KHI sebagai berikut.
(1)         Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam
(2)         Apabila keadaan yanng disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama
(3)         Perjanjian taklik talak bukan perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.

Ayat (3) KHI diatas bertentangan dengan pasal 29 ayat (4) UUP yang mengungkapkan bahwa selama perkawinan berlangsung, perjanjian tidak dapat diubah kecuali ada persetujuan kedua belah pihak dan tidak merugikan pihak ketiga. Dari sinilah, maka dalam penjelasan disebutkan tidak termasuk taklik talak. Sebab, naskah perjanjian taklik talak dilampirkan dalam salinan Akta Nikah yang sudah ditandatangani oleh suami. Oleh karena itu, perjanjian taklik talak tidak dapat dicabut kembali. Dapat dipahami bahwa sebelum pelaksanaan akad nikah, Pegawai Pencatat perlu melakukan penelitian mengenai perjanjian perkawinan yang dibuat oleh kedua calon mempelai, baik secara material atau isi perjanjian itu, maupun secara teknis bagaimana perjanjian itu telah disepakati mereka bersama. Selama perjanjian itu berupa taklik talak, Menteri Agama telah mengaturnya.

Naskah taklik dan talak tersebut perlu diperiksa secara teliti oleh Pegawai Pencatat Perkawinan berdasarkan pasal 2 Peraturan Menteri Agama nomor 3 tahun 1975. hal itu diungkapkan sebagai berikut.
(1)         Apabila pada waktu pemeriksaan nikah calon suami isteri telah menyetujui adanya taklik talak sebagai dimaksud pasal 11 ayat (3) peraturan ini, maka suami mengucapkan dan menandatangani taklik talak yang telah disetujuinya itu setelah akah nikah dilangsungkan.
(2)         Apabila dalam pemeriksaan nikah telah ada persetujuan adanya taklik talak akan tetapi setelah akad nikah suami tidak mau mengucapkannya, maka hal ini segera diberitahukannya kepada pihak isterinya.

Ketika menerima gugatan perceraian dari pihak isteri dengan alasan pelanggaran perjanjian dalam taklik talak, Pengadilan Agam harus benar benar meneliti apakah sang suami menyetujui dan mengucapan sighat taklik talak atau tidak. Secara yuridis formal, persetujuan dan pembacaan sighat taklik talak dapat dilihat pada akta nikahnya, meski tidak atau belum sepenuhnya dapat dijamin kebenarannya. Kalau suami menandatangai dibawah sighat taklik talak, ia dianggap menyetujui dan membaca sighat tersebut, kecuali ada keterangan lain.

Apabila memperhatikan sighat taklik talak, dapat dipahami bahwa maksud yang terkandungan amat baik dan positif kepastian hukumnya, yaitu melindungi perempuan dari kesewenang-wenangan suami dalam memenuhi kewajibannya, yang merupakan hak-hak sang isteri yang harus diterimanya. Meskipun sang isteri sudah mendapat hak baik hak khulu’ (gugat cerai) maupun hak fasakh. Oleh karena itu, amat penting untuk memperhatikan persetujuan suami yang dibuktikan dengan membubuhkan tanda tangan atau tidak setuju membubuhkan tanda tangan pada sighat taklik talak. Hal itu dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kekeliruan dan kesulitan dalam menyelesaikan persoalan yang muncul dari sighat dimaksud.

Selain itu, perjanjian perkawinan dapat juga dibuat kedua belah pihak mengenai harta bersama dan hal hal lain sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam sebagaimana diatur dalam pasal 47 s.d. 52 KHI.