Tuesday 26 March 2013

Rumah Susun Part 2



Status Pemilikan Rumah Susun
Menurut Pasal 46 Undang Undang no 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun, Satuan rumah susun dapat dimiliki oleh perseorangan atau badan hukum yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah dimana hak milik atas satuan rumah susun adalah hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah dengan hak bersama atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang dihitung berdasarkan NPP.

NPP (Nilai Perbandingan Proporsional) adalah angka yang menunjukkan perbandingan antara sarusun terhadap hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang dihitung berdasarkan nilai sarusun yang bersangkutan terhadap jumlah nilai rumah susun secara keseluruhan pada waktu pelaku pembangunan pertama kali memperhitungkan biaya pembangunannya secara keseluruhan untuk menentukan harga jualnya.

Dasar hukum hak milik atas satuan rumah susun meliputi :
a.      hak pemilikan perseorangan atas satuan-satuan rumah susun yang digunakan secara terpisah;
b.      Hak bersama atas bagian-bagian dari bangunan rumah susun;
c.      Hak bersama atas benda-benda;
d.      Hak bersama atas tanah.
Yang semuanya merupakan satu kesatuan hak yang secara fungsional tidak terpisahkan.

Sebagai bukti kepemilikan atas satuan rumah susun, diterbitkan sertifikat hak milik atas satuan rumah susun yang terdiri atas:
a.      Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur atas Hak Tanah Bersama menurut ketentuan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960;
b.      Gambar denah tingkat rumah susun yang bersangkutan, yang menunjukkan satuan rumah susun yang dimiliki;
c.      Pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian-bersama, benda-bersama dan tanah-bersama yang bersangkutan;
Yang kesemuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Hak milik atas satuan rumah susun dapat beralih dengan cara pewarisan atau dengan cara pemindahan hak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dimana pemindahan hak tersebut harus dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah dan didaftarkan pada Kantor Agraria Kabupaten atau Kotamadya yang bersangkutan menurut Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 41 tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia dalam pasal 2 disebutkan bahwa satuan rumah susun yang dibangun di atas bidang tanah Hak Pakai atas tanah Negara juga dapat dimiliki oleh orang asing yang berkedudukan di Indonesia yaitu orang asing yang kehadirannya di Indonesia memberikan manfaat bagi pembangunan nasional.

Khusus untuk badan-badan hukum yang dapat memiliki satuan rumah susun di atas tanah hak milik bersama, adalah badan-badan hukum yang ditunjjuk oleh Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 diantaranya bank bank yang didirikan oleh Negara, Badan badan sosial dan keagamaan serta koperasi pertanian yang memenuhi syarat.

Berdasarkan Undang Undang Rumah Susun dikenal pula sertifikat kepemilikan bangunan gedung satuan rumah susun yaitu tanda bukti kepemilikan atas satuan rumah susun di atas barang milik negara/daerah berupa tanah atau tanah wakaf dengan cara sewa.

Friday 15 March 2013

ARBITRASE



Apakah itu arbitrase ? Berdasarkan pasal 1 butir 1 UU no.30 tahun 1999 tentang Arbitrase disebutkan bahwa Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Oleh karena itu arbitrase merupakan suatu bentuk alternative penyelesaian sengketa diluar pengadilan atau dengan cara mengenyampingkan penyelesaian secara litigasi di pengadilan negeri.

Di Indonesia dikenal dua jenis Arbitrase yaitu Arbitrase Ad Hoc dan Arbitrase Institusional. Arbitrase Ad Hoc, adalah arbitrase yang dibentuk khusus oleh para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan atau memutuskan perselisihan diantara mereka.

Keuntungan menggunakan Arbitrase Ad Hoc :
-         Para Pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui Arbitrase yang dibentuknya sendiri sehingga dapat memenuhi keinginan pada pihak yang bersengketa
-         Para pihak bebas menentukan mengenai peraturan apa yang akan digunakan dalam penyelesaian arbitrase tersebut (bisa menggunakan peraturan atbitrase internasional yang sudah ada seperti UNCITRAL Rule atau para pihak bisa membuat sendiri peraturan yang sesuai dengan keinginan mereka atau bisa juga menggunakan peraturan peraturan yang dibuat oleh Arbitral Tribunal)
-         Proses penyelesaian sengketa melalui Ad Hoc Arbitrase ini dapat menghemat waktu, karena peraturan yang digunakan biasanya diadaptasi dari peraturan arbitrase internasional yang sudah ada
-         Karena penyelesaian sengketa yang cenderung cepat, oleh karena itu maka biaya menggunakan Arbitrase Ad Hoc cenderung murah
-         Para pihak dapat mengatur cara cara bagaimana pelaksanaan pemilihan para Arbiter, kerangka kerja, prosedur arbitrase dan aparatur administratif dari arbitrase

Kerugian menggunakan Arbitrase Ad Hoc :
-         Terdapat kesulitan dalam merencanakan metode metode pemilihan Arbiter yang dapat diterima oleh kedua belah pihak
-         Memiliki kesulitan dalam melakukan negosiasi dan menetapkan aturan aturan prosedural yang berlaku dalam arbitrase tersebut

Arbitrase Institusional, adalah merupakan lembaga atau badan Arbitrase yang bersifat permanen (“Permanent Arbitral Body”)
Keuntungannya :
-         Menyediakan jasa administrasi arbitrase yang meliputi pengawasan terhadap proses arbitrase, aturan aturan prosedural sebagai pedoman bagi para pihak dan pengangkatan para Arbiter
-         Sudah ada peraturan yang baku yang berlaku dalam proses penyelesaian sengketa dalam Arbitrase Institusional
-         Arbitrase institusional mempunyai staf staf yang sudah ahli untuk mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan Arbitrase tersebut
-         Sebelum dimulai acara pemeriksaan sengketa, para pihak diwajibkan untuk membayar advance payment terlebih dahulu

Kerugiannya :
-         Biaya cenderung lebih mahal
-         Ada kecenderungan menjadikan proses penyelesaian sengketa menjadi lambat, hal ini dikarenakan banyaknya prosedur birokrasi yang berbelit belit yang harus dilalui dari Arbitrase Institusional tersebut
-         Jangka waktu untuk penyelesaian sengketa sering kali lebih lama dari waktu yang telah ditentukan

Adapun untuk menjadi seorang Arbiter didalam suatu badan arbitrase, seseorang harus memenuhi kualifikasi sebagaimana yang ditetapkan dalam pasal 12 ayat 1 UU no. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase yaitu :
  1. cakap melakukan tindakan hukum;
  2. berumur paling rendah 35 tahun;
  3. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa;
  4. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan
  5. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.
Kemudian dalam ayat 2 diterangkan bahwa yang tidak boleh diangkat sebagai arbiter adalah Hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya.

Sunday 10 March 2013

Pro dan Kontra Hukuman Mati



Penjatuhan dan pelaksanaan hukuman mati sampai saat ini masih menimbulkan pro dan kontra di berbagai kalangan masyarakat baik di dalam maupun di luar negeri. Dalam pandangan sosial, hukuman mati merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia tetapi bila dilihat melalui pandangan hukum, hukuman mati harus dilaksanakan demi keadilan dan perlindungan terhadap warga negara.



Dalam hukum Indonesia, ancaman hukuman mati diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana pasal 340 (untuk tindakan pembunuhan berencana), UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 2, PERPU No. 1 tahun 2002 yang disahkan menjadi UU melalui UU No. 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme pasal 6 dan 9, pasal 80 dan 82 UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika,  Psl 59 (2) UU No 5 ttg Psikotropika dan UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM pasal 36 dan 37.



Pro

Hukuman mati merupakan salah satu bentuk hukuman (pidana) terberat yang diberikan kepada pelaku tindak pidana dan dijatuhkan terhadap mereka yang dianggap telah melakukan tindakan pidana yang amat berat. Adanya ancaman hukuman mati terhadap tindak pidana menimbulkan efek ‘jera’ bagi orang lain serta memberikan ketenangan terhadap korban ataupun keluarga korban khususnya mereka yang menjadi korban pembunuhan ataupun genocida. Di Indonesia, hukuman mati masih dianggap perlu dilaksanakan karena dalam kehidupan masyarakat dimana kesadaran akan hukum masih amat rendah, sehingga efek dari adanya hukuman mati yaitu agar masyarakat taat dan takut akan hukum masih diperlukan.



Ditambah lagi dengan keadaan lembaga pemasyarakat disaat ini, dimana pada berbagai lapas mengalami over capacity dan menjadi tempat untuk para pelaku tindak pidana mempelajari atau memperdalam ilmu kejahatan. Sehingga bilamana mereka menyelesaikan masa tahanan mereka, mereka menjadi lebih ‘pandai’ dalam melakukan tindak pidana kejahatan dan kembali menjadi ancaman bagi masyarakat.



Terlebih lagi dalam hukum Indonesia, hukuman mati mendapat dukungan legalitas karena ancaman hukuman mati berlaku dan ada didalam perundang-undangan negara terhadap jenis tindakan pidana tertentu sehingga keberadaanya tidak menyalahi hukum positif yang berlaku.



Kontra

Keberadaan hukuman mati dianggap oleh beberapa kalangan bertentangan dengan hak asasi manusia untuk hidup dimana hal tersebut juga diakui oleh negara Indonesia dalam UUD 1945 pasal 28 I bahkan secara universal hak atas hidup juga diakui melalui Declaration of Human Right yang juga diadopsi oleh Indonesia melalui UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Hal ini bersandar bahwa meskipun seseorang telah melakukan suatu tindak pidana namun hak hak asasinya sebagai manusia tetap melekat mulai dari saat penyidikan sampai saat penjatuhan hukuman bahkan pada saat pelaksanaan hukuman pun hak asasinya wajib dihormati dan dijaga. Selain itu hukuman mati dianggap sebagai suatu tindakan yang melanggar ketentuan agama serta menentang kehendak Tuhan karena hal tentang hidup dan matinya seseorang ada ditangan-Nya.



Hukuman mati adalah merupakan suatu hukuman yang final dimana mereka yang divonis hukuman mati tidak akan mendapatkan kesempatan kedua ataupun rehabilitasi dimana bila mengingat sistim hukum di negara manapun tidak ada yang sempurna, sehingga orang orang yang sebenarnya tidak bersalah yang dijatuhi hukuman mati tidak mungkin mendapatkan nyawanya kembali.  



Kesimpulan

Hukuman mati masih perlu dipertahankan di Indonesia, hal ini dilakukan agar masyarakat ‘takut’ akan hukum (meningkatkan kesadaran masyarakat atas hukum) dimana pada masa ini kesadaran masyarakat atas hukum amat rendah ditambah lagi dengan adanya over capacity di berbagai lembaga pemasyarakatan serta stigma dimana dalam lapas tersebut menjadi ‘sekolah kriminal’ bagi para pelaku tindak kejahatan. Namun pelaksanaan hukuman mati hendaknya diberlakukan pada kejahatan kejahatan yang menimbulkan korban jiwa seperti pembunuhan, terorisme dan kejahatan HAM berat seperti Genocida.

Sunday 3 March 2013

Rumah Susun Part 1





Salam kenal, 

Pengetahuan masyarakat akan hukum di Indonesia masih minim oleh karena itu saya membuat blog ini mencoba untuk memberikan sedikit dasar akan hokum di Indonesia yang banyak ditemui di masyarakat. Untuk entri pertama, saya membahas tentang Rumah Susun.

Di Indonesia, keberadaan rumah susun mulai banyak ditemui khususnya di kota kota besar. Apapun istilah yang digunakan oleh pihak pemasaran/developer baik apartemen, kondominium atau rumah susun, kesemuanya itu dibawah naungan Undang Undang nomor 20 tahun 2011.

Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal dan arah vertikal yang terbagi dalam satu-satuan (unit) yang masing-masing jelas batas-batasnya, ukuran dan luasnya, yang dimiliki dan dihuni secara terpisah.

Namun selain dari pada hak pribadi, terdapat juga bagian bersama dari bangunan tersebut serta benda-bersama contohnya fondasi, balok, dinding luar, lantai, atap, tangga, lift, jaringan pipa; dan tanah bersama - yaitu sebidang tanah yang digunakan atas dasar hal bersama yang diatasnya didirikan rumah susun, yang karena sifat dan fungsinya harus digunakan dan dinikmati bersama dan tidak dapat dimiliki secara perseorangan seperti taman, lapangan parkir, kolam renang dan lainnya.

Status kepemilikan rumah susun adalah sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (HMSRS) walaupun oleh orang sering diistilahkan strata title. HMSRS ini adalah bukti kepemilikan atas unit rumah susun. Namun selain itu, perlu pula diperhatikan status tanah dimana bangunan (tower) rumah susun berikut fasilitasnya tersebut didirikan (tanah bersama). Status atas tanah tersebut dapat berbentuk Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas tanah negara atau Hak Pengelolaan. Hak atas tanah tersebut pada awalnya milik developer, namun wajib diserahkan kepada Perhimpunan Penghuni rumah susun tersebut. 

Seperti namanya, HMSRS tidak perlu diperpanjang dan dapat pula dijaminkan pada Bank sebagai jaminan hutang. Yang perlu para calon pembeli rumah susun ketahui adalah status dari tanah bersama, bila tanah tersebut berstatus Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah negara, bila jangka waktu tanah berakhir maka harus diurus diperpanjangannya.
Khusus terhadap penyelenggaraan pembangunan yang membangun rumah susun di atas tanah yang dikuasai dengan hak pengelolaan, menurut pasal 17 butir C dalam UU disebutkan bahwa Hak Guna Bangunan / Hak Pakai di atas tanah Hak Pengelolaan sebaiknya di sertifikat disebut dengan jelas mengenai status Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai tersebut berdiri di atas tanah Hak Pengelolaan.