Monday 1 April 2013

Perjanjian Perkawinan, Part 1

Latar Belakang Perjanjian Perkawinan

Perjanjian Perkawinan adalah kontrak antara dua orang sebelum perkawinan dimana isi dari perjanjian tersebut bermacam macam tetapi mayoritas berkenaan dengan pembagian harta dan pendapatan. Perjanjian perkawinan dibuat dengan berbagai alasan, khususnya dalam beberapa tahun terakhir dimana banyak masyarakat dari kalangan menengah ke atas yang bergerak di bidang wiraswasta mulai membuat perjanjian perkawinan. Sebagai contoh anak seorang pemilik perusahaan yang akan menikah dengan salah satu staf yang dipercaya mengelola perusahaan membuat perjanjian perkawinan untuk menjaga profesionalisme, hubungan, dan citra mereka. Hal ini dilakukan untuk menghindari tuduhan bahwa salah satu pihak ingin mendapatkan kekayaan pihak lain terutama dari hasil pembagian harta gono-gini (harta bersama yang diperoleh selama perkawinan).

Perjanjian perkawinan banyak dipilih calon pasangan yang salah satu atau keduanya mempunyai usaha yang beresiko tinggi sehingga bilamana usahanya mengalami kegagalan maka harta milik pasangannya tidak dapat disita. Perjanjian perkawinan juga banyak dibuat oleh pasangan dalam perkawinan campuran. Hal ini ditempuh karena di dalam hal perkawinan campuran, harta bersama tidak boleh berupa hak milik atas tanah. Oleh karena itu meskipun seorang yang berwarga negera Indonesia yang menikah dengan orang yang berwarga negara asing di Indonesia  tidak dapat memperoleh hak milik atas tanah karena harta yang ia peroleh tersebut masuk dalam harta bersama yang mana secara otomatis setengahnya milik pasangannya yang berwarga negara asing tersebut. Sedangkan peraturan pertanahan di Indonesia, tidak dimungkinkan warga negara asing untuk memiliki tanah dengan status Hak Milik ataupun Hak Guna Bangunan.

Dengan dibuatnya perjanjian perkawinan yang isinya tentang pemisahan harta kekayaan bagi mereka yang melakukan perkawinan campuran, maka suami atau isteri yang berwarga negara Indonesia selain memiliki penguasaan penuh terhadap harta kekayaannya juga mampu melakukan tindakan hukum secara leluasa khususnya dalam memperoleh harta dalam bentuk Hak Milik ataupun Hak Guna Bangunan atas tanah tanpa kuatir haknya akan gugur dan menjadi tanah milik negara

Dalam hal membuat perjanjian perkawinan perlu dipertimbangkan beberapa aspek yaitu:
1.  Keterbukaan dalam mengungkapkan semua detil kondisi keuangan baik sebelum maupun sesudah perkawinan. Mulai dari jumlah harta bawaaan masing-masing pihak sebelum menikah dan bagaimana potensi pertambahannya sejalan dengan meningkatnya penghasilan atau karena hal lain misalnya menerima warisan sampai jumlah hutang bawaan masing-masing pihak sebelum menikah, bagaimana potensi hutang setelah menikah dan siapa yang bertanggung jawab terhadap pelunasan hutangnya. Tujuannya agar dapat diketahui dengan persis apa yang akan diterima dan apa yang akan di korbankan jika perkawinan berakhir, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan nantinya.
2.   Kerelaan, perjanjian perkawinan harus disetujui dan ditandatangani oleh kedua belah pihak secara sukarela tanpa paksaan. Sehingga jika salah satu pihak merasa dipaksa, karena diancam atau berada dalam tekanan sehingga terpaksa menandatanganinya, perjanjian perkawinan bisa terancam batal karenanya,
3.      Pejabat yang objektif. Pilihlah pejabat berwenang yang yang bereputasi baik dan bisa menjaga obyektifitas, sehingga dalam membuat isi perjanjian perkawinan bisa tercapai keadilan bagi kedua belah pihak,
4.      Notariil. Perjanjian perkawinan sebaiknya tidak dibuat dibawah tangan tetapi harus disahkan oleh notaries. Kemudian harus dicatatkan pula dalam lembaga pencatatan perkawinan. Artinya pada saat pernikahan dilangsungkan perjanjian perkawinan juga harus disahkan pula oleh pegawai pencatat perkawinan (KUA mauapun Kantor Catatan Sipil).

Dasar Hukum Perjanjian Perkawinan

Keberadaan perjanjian perkawinan muncul pertama kali melalui Kitab Undang Undang Hukum Perdata (disingkat KUHPerdata) yang mulai berlaku di Indonesia pada bulan Januari 1848 yaitu pada buku I bab VII dalam pasal 139 yang menentukan bahwa para calon suami isteri dengan perjanjian perkawinan (dalam KUHPerdata disebut dengan perjanjian kawin) dapat menyimpang dari peraturan perundang-undangan mengenai harta bersama (persatuan bulat), sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan tata susila yang baik atau dengan tata tertib umum dan mengindahkan pula ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undang-undang.

Mengingat keadaan hukum Indonesia yang bersifat prularisme, perjanjian perkawinan tersebut hanya berlaku pada golongan tertentu saja yaitu golongan yang tunduk terhadap KUHPerdata yang termasuk didalamnya adalah mereka yang merupakan golongan Eropa, golongan Timur Asing dan golongan Tiong Hoa. Sedangkan untuk golongan Bumiputra, perjanjian perkawinan tidak dikenal karena hukum yang berlaku terhadap mereka adalah hukum adatnya masing masing. Dengan demikian bila seseorang yang berasal dari golongan Bumiputra hendak mengadakan perjanjian perkawinan maka ia menundukkan diri terhadap hukum yang berlaku dalam KUHPerdata. Penundukan tersebut dapat dilakukan secara diam-diam maupun terbuka dan dapat berupa penundukan sebagian terhadap KUHPerdata (yaitu terhadap perjanjian perkawinan) ataupun penundukan secara menyeluruh.

Namun dengan disahkannya Undang Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), yang dalam pasal 29 disebutkan bahwa pada waktu atau sebelum perkawinan calon suami isteri atas persetujuan bersama membuat suatu perjanjian perkawinan, perjanjian perkawinan berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia. Namun dalam UUP tersebut tidak disebutkan secara rinci perjanjian tersebut mengenai apa. Oleh karena tidak adanya pembatasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa isi perjanjian tersebut luas sekali dan mengenai berbagai hal. Terlebih lagi dalam peraturan pelaksanannya tidak mengatur lebih lanjut bagaimana tentang perjanjian perkawian dimaksud, hanya disebutkan bahwa bila terdapat perjanjian perkawinan maka hal tersebut harus dimuat dalam akta perkawinan hal ini berarti bahwa perjanjian perkawinan harus diadakan sebelum dilangsungkannya perkawinan.

Mengenai perjanjian perkawinan yang diatur dalam pasal 29 UUP yang berbunyi :
  1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan, setelah isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
  2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
  3. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan berlangsung.
  4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Oleh karena ketentuan yang tercantum dalam UUP tentang perjanjian perkawinan tidak mengatur secara detail, maka masyarakat masih menggunakan KUHPerdata terhadap ketentuan-ketentuan yang belum diatur dalam UUP.

Dalam penjelasan pasal 29 UUP menyatakan bahwa perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk taklik talak. Namun dalam pasal 11 Peraturan Menteri Agama nomor 3 tahun 1975 menyebutkan suatu peraturan yang bertentangan. Hal itu diungkapkan sebagai berikut.
  1.  Calon suami isteri dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
  2. Perjanjian yang berupa taklik talak dianggap sah kalau perjanjian itu diucapkan dan ditandatangani oleh suami setelah akad nikah dilangsungkan.
  3. Sighat taklik talak ditentukan oleh Menteri Agama. 
Isi pasal 11 tersebut, dirinci oleh pasal 45 sampai pasal 52 Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya akan disingkat KHI) yaitu kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk : (a) taklik talak dan (b) perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Mengenai ketentuan taklik talak, dijelaskan dalam pasal 46 KHI sebagai berikut.
(1)         Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam
(2)         Apabila keadaan yanng disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama
(3)         Perjanjian taklik talak bukan perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.

Ayat (3) KHI diatas bertentangan dengan pasal 29 ayat (4) UUP yang mengungkapkan bahwa selama perkawinan berlangsung, perjanjian tidak dapat diubah kecuali ada persetujuan kedua belah pihak dan tidak merugikan pihak ketiga. Dari sinilah, maka dalam penjelasan disebutkan tidak termasuk taklik talak. Sebab, naskah perjanjian taklik talak dilampirkan dalam salinan Akta Nikah yang sudah ditandatangani oleh suami. Oleh karena itu, perjanjian taklik talak tidak dapat dicabut kembali. Dapat dipahami bahwa sebelum pelaksanaan akad nikah, Pegawai Pencatat perlu melakukan penelitian mengenai perjanjian perkawinan yang dibuat oleh kedua calon mempelai, baik secara material atau isi perjanjian itu, maupun secara teknis bagaimana perjanjian itu telah disepakati mereka bersama. Selama perjanjian itu berupa taklik talak, Menteri Agama telah mengaturnya.

Naskah taklik dan talak tersebut perlu diperiksa secara teliti oleh Pegawai Pencatat Perkawinan berdasarkan pasal 2 Peraturan Menteri Agama nomor 3 tahun 1975. hal itu diungkapkan sebagai berikut.
(1)         Apabila pada waktu pemeriksaan nikah calon suami isteri telah menyetujui adanya taklik talak sebagai dimaksud pasal 11 ayat (3) peraturan ini, maka suami mengucapkan dan menandatangani taklik talak yang telah disetujuinya itu setelah akah nikah dilangsungkan.
(2)         Apabila dalam pemeriksaan nikah telah ada persetujuan adanya taklik talak akan tetapi setelah akad nikah suami tidak mau mengucapkannya, maka hal ini segera diberitahukannya kepada pihak isterinya.

Ketika menerima gugatan perceraian dari pihak isteri dengan alasan pelanggaran perjanjian dalam taklik talak, Pengadilan Agam harus benar benar meneliti apakah sang suami menyetujui dan mengucapan sighat taklik talak atau tidak. Secara yuridis formal, persetujuan dan pembacaan sighat taklik talak dapat dilihat pada akta nikahnya, meski tidak atau belum sepenuhnya dapat dijamin kebenarannya. Kalau suami menandatangai dibawah sighat taklik talak, ia dianggap menyetujui dan membaca sighat tersebut, kecuali ada keterangan lain.

Apabila memperhatikan sighat taklik talak, dapat dipahami bahwa maksud yang terkandungan amat baik dan positif kepastian hukumnya, yaitu melindungi perempuan dari kesewenang-wenangan suami dalam memenuhi kewajibannya, yang merupakan hak-hak sang isteri yang harus diterimanya. Meskipun sang isteri sudah mendapat hak baik hak khulu’ (gugat cerai) maupun hak fasakh. Oleh karena itu, amat penting untuk memperhatikan persetujuan suami yang dibuktikan dengan membubuhkan tanda tangan atau tidak setuju membubuhkan tanda tangan pada sighat taklik talak. Hal itu dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kekeliruan dan kesulitan dalam menyelesaikan persoalan yang muncul dari sighat dimaksud.

Selain itu, perjanjian perkawinan dapat juga dibuat kedua belah pihak mengenai harta bersama dan hal hal lain sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam sebagaimana diatur dalam pasal 47 s.d. 52 KHI.

No comments:

Post a Comment