Latar Belakang Perjanjian Perkawinan
Perjanjian Perkawinan adalah
kontrak antara dua orang sebelum perkawinan dimana isi dari perjanjian tersebut
bermacam macam tetapi mayoritas berkenaan dengan pembagian harta dan
pendapatan. Perjanjian perkawinan dibuat dengan berbagai alasan,
khususnya dalam beberapa tahun terakhir dimana banyak masyarakat dari kalangan
menengah ke atas yang bergerak di bidang wiraswasta mulai membuat perjanjian
perkawinan. Sebagai contoh anak seorang pemilik perusahaan yang akan menikah
dengan salah satu staf yang dipercaya mengelola perusahaan membuat perjanjian
perkawinan untuk menjaga profesionalisme, hubungan, dan citra mereka. Hal ini
dilakukan untuk menghindari tuduhan bahwa salah satu pihak ingin mendapatkan
kekayaan pihak lain terutama dari hasil pembagian harta gono-gini (harta
bersama yang diperoleh selama perkawinan).
Perjanjian perkawinan banyak
dipilih calon pasangan yang salah satu atau keduanya mempunyai usaha yang
beresiko tinggi sehingga bilamana usahanya mengalami kegagalan maka harta milik
pasangannya tidak dapat disita. Perjanjian perkawinan juga banyak dibuat oleh
pasangan dalam perkawinan campuran. Hal ini ditempuh karena di dalam hal
perkawinan campuran, harta bersama tidak boleh berupa hak milik atas tanah.
Oleh karena itu meskipun seorang yang berwarga negera Indonesia yang menikah
dengan orang yang berwarga negara asing di Indonesia tidak dapat memperoleh hak milik atas tanah
karena harta yang ia peroleh tersebut masuk dalam harta bersama yang mana
secara otomatis setengahnya milik pasangannya yang berwarga negara asing
tersebut. Sedangkan peraturan pertanahan di Indonesia, tidak dimungkinkan warga
negara asing untuk memiliki tanah dengan status Hak Milik ataupun Hak Guna
Bangunan.
Dengan dibuatnya perjanjian perkawinan
yang isinya tentang pemisahan harta kekayaan bagi mereka yang melakukan
perkawinan campuran, maka suami atau isteri yang berwarga negara Indonesia
selain memiliki penguasaan penuh terhadap harta kekayaannya juga mampu
melakukan tindakan hukum secara leluasa khususnya dalam memperoleh harta dalam
bentuk Hak Milik ataupun Hak Guna Bangunan atas tanah tanpa kuatir haknya akan
gugur dan menjadi tanah milik negara
Dalam hal membuat
perjanjian perkawinan perlu dipertimbangkan beberapa aspek yaitu:
1. Keterbukaan dalam
mengungkapkan semua detil kondisi keuangan baik sebelum maupun sesudah
perkawinan. Mulai dari jumlah harta bawaaan masing-masing pihak sebelum menikah
dan bagaimana potensi pertambahannya sejalan dengan meningkatnya penghasilan
atau karena hal lain misalnya menerima warisan sampai jumlah hutang bawaan
masing-masing pihak sebelum menikah, bagaimana potensi hutang setelah menikah
dan siapa yang bertanggung jawab terhadap pelunasan hutangnya. Tujuannya agar
dapat diketahui dengan persis apa yang akan diterima dan apa yang akan di
korbankan jika perkawinan berakhir, sehingga tidak ada pihak yang merasa
dirugikan nantinya.
2. Kerelaan, perjanjian
perkawinan harus disetujui dan ditandatangani oleh kedua belah pihak secara
sukarela tanpa paksaan. Sehingga jika salah satu pihak merasa dipaksa, karena
diancam atau berada dalam tekanan sehingga terpaksa menandatanganinya,
perjanjian perkawinan bisa terancam batal karenanya,
3.
Pejabat yang objektif.
Pilihlah pejabat berwenang yang yang bereputasi baik dan bisa menjaga
obyektifitas, sehingga dalam membuat isi perjanjian perkawinan bisa tercapai
keadilan bagi kedua belah pihak,
4.
Notariil. Perjanjian
perkawinan sebaiknya tidak dibuat dibawah tangan tetapi harus disahkan oleh
notaries. Kemudian harus dicatatkan pula dalam lembaga pencatatan perkawinan.
Artinya pada saat pernikahan dilangsungkan perjanjian perkawinan juga harus
disahkan pula oleh pegawai pencatat perkawinan (KUA mauapun Kantor Catatan
Sipil).
Dasar Hukum Perjanjian Perkawinan
Keberadaan perjanjian perkawinan
muncul pertama kali melalui Kitab Undang Undang Hukum Perdata (disingkat
KUHPerdata) yang mulai berlaku di Indonesia pada bulan Januari 1848 yaitu pada
buku I bab VII dalam pasal 139 yang menentukan bahwa para calon suami isteri
dengan perjanjian perkawinan (dalam KUHPerdata disebut dengan perjanjian kawin)
dapat menyimpang dari peraturan perundang-undangan mengenai harta bersama
(persatuan bulat), sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan tata susila yang
baik atau dengan tata tertib umum dan mengindahkan pula ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam undang-undang.
Mengingat keadaan hukum
Indonesia yang bersifat prularisme, perjanjian perkawinan tersebut hanya
berlaku pada golongan tertentu saja yaitu golongan yang tunduk terhadap
KUHPerdata yang termasuk didalamnya adalah mereka yang merupakan golongan
Eropa, golongan Timur Asing dan golongan Tiong Hoa. Sedangkan untuk golongan
Bumiputra, perjanjian perkawinan tidak dikenal karena hukum yang berlaku
terhadap mereka adalah hukum adatnya masing masing. Dengan demikian bila
seseorang yang berasal dari golongan Bumiputra hendak mengadakan perjanjian
perkawinan maka ia menundukkan diri terhadap hukum yang berlaku dalam
KUHPerdata. Penundukan tersebut dapat dilakukan secara diam-diam maupun terbuka
dan dapat berupa penundukan sebagian terhadap KUHPerdata (yaitu terhadap
perjanjian perkawinan) ataupun penundukan secara menyeluruh.
Namun dengan disahkannya Undang Undang
nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), yang dalam pasal 29 disebutkan bahwa
pada waktu atau sebelum perkawinan calon suami isteri atas persetujuan bersama
membuat suatu perjanjian perkawinan, perjanjian perkawinan berlaku untuk
seluruh warga negara Indonesia. Namun dalam UUP tersebut tidak disebutkan
secara rinci perjanjian tersebut mengenai apa. Oleh karena tidak adanya
pembatasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa isi perjanjian tersebut luas
sekali dan mengenai berbagai hal. Terlebih lagi dalam peraturan pelaksanannya
tidak mengatur lebih lanjut bagaimana tentang perjanjian perkawian dimaksud,
hanya disebutkan bahwa bila terdapat perjanjian perkawinan maka hal tersebut
harus dimuat dalam akta perkawinan hal ini berarti bahwa perjanjian perkawinan
harus diadakan sebelum dilangsungkannya perkawinan.
Mengenai perjanjian perkawinan
yang diatur dalam pasal 29 UUP yang berbunyi :
- Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan, setelah isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
- Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
- Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan berlangsung.
- Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Oleh karena ketentuan yang
tercantum dalam UUP tentang perjanjian perkawinan tidak mengatur secara detail,
maka masyarakat masih menggunakan KUHPerdata terhadap ketentuan-ketentuan yang
belum diatur dalam UUP.
Dalam penjelasan pasal 29 UUP
menyatakan bahwa perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk taklik talak. Namun
dalam pasal 11 Peraturan Menteri Agama nomor 3 tahun 1975 menyebutkan suatu
peraturan yang bertentangan. Hal itu diungkapkan sebagai berikut.
- Calon suami isteri dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
- Perjanjian yang berupa taklik talak dianggap sah kalau perjanjian itu diucapkan dan ditandatangani oleh suami setelah akad nikah dilangsungkan.
- Sighat taklik talak ditentukan oleh Menteri Agama.
Isi pasal 11 tersebut, dirinci
oleh pasal 45 sampai pasal 52 Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya akan disingkat
KHI) yaitu kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam
bentuk : (a) taklik talak dan (b) perjanjian lain yang tidak bertentangan
dengan hukum Islam.
Mengenai ketentuan taklik talak,
dijelaskan dalam pasal 46 KHI sebagai berikut.
(1)
Isi taklik talak tidak boleh
bertentangan dengan hukum Islam
(2)
Apabila keadaan yanng disyaratkan dalam
taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh.
Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengajukan persoalannya ke
Pengadilan Agama
(3)
Perjanjian taklik talak bukan
perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali
taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
(1)
Apabila pada waktu pemeriksaan nikah
calon suami isteri telah menyetujui adanya taklik talak sebagai dimaksud pasal
11 ayat (3) peraturan ini, maka suami mengucapkan dan menandatangani taklik
talak yang telah disetujuinya itu setelah akah nikah dilangsungkan.
(2)
Apabila dalam pemeriksaan nikah telah
ada persetujuan adanya taklik talak akan tetapi setelah akad nikah suami tidak
mau mengucapkannya, maka hal ini segera diberitahukannya kepada pihak
isterinya.
Ketika menerima gugatan
perceraian dari pihak isteri dengan alasan pelanggaran perjanjian dalam taklik
talak, Pengadilan Agam harus benar benar meneliti apakah sang suami menyetujui
dan mengucapan sighat taklik talak atau tidak. Secara yuridis formal,
persetujuan dan pembacaan sighat taklik talak dapat dilihat pada akta nikahnya,
meski tidak atau belum sepenuhnya dapat dijamin kebenarannya. Kalau suami
menandatangai dibawah sighat taklik talak, ia dianggap menyetujui dan membaca
sighat tersebut, kecuali ada keterangan lain.
Apabila memperhatikan sighat
taklik talak, dapat dipahami bahwa maksud yang terkandungan amat baik dan
positif kepastian hukumnya, yaitu melindungi perempuan dari kesewenang-wenangan
suami dalam memenuhi kewajibannya, yang merupakan hak-hak sang isteri yang
harus diterimanya. Meskipun sang isteri sudah mendapat hak baik hak khulu’
(gugat cerai) maupun hak fasakh. Oleh karena itu, amat penting untuk
memperhatikan persetujuan suami yang dibuktikan dengan membubuhkan tanda tangan
atau tidak setuju membubuhkan tanda tangan pada sighat taklik talak. Hal itu
dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kekeliruan dan kesulitan dalam
menyelesaikan persoalan yang muncul dari sighat dimaksud.
Selain itu,
perjanjian perkawinan dapat juga dibuat kedua belah pihak mengenai harta
bersama dan hal hal lain sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam
sebagaimana diatur dalam pasal 47 s.d. 52 KHI.
No comments:
Post a Comment