Monday 8 April 2013

Perjanjian Perkawinan, Part 2



Isi Perjanjian Perkawinan

Mengenai bentuk dan isi perjanjian perkawinan, sebagaimana halnya dengan perjanjian-perjanjian lain pada umumnya dimana kepada kedua belah pihak diberikan kemerdekaan seluas luasnya kecuali beberapa larangan yang termuat dalam undang-undang dan tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan.

Suatu perjanjian perkawinan misalnya, dapat berupa hanya menyingkirkan suatu benda saja (misalnya suatu rumah) dari percampuran kekayaan, tetapi dapat juga menyingkirkan segala percampuran kekayaan. Dalam KUHPerdata, ada tiga kemungkinan dari isi perjanjian perkawinan yaitu :
1.      Tidak ada sama sekali persatuan harta kekayaan (pasal 140 ayat 2 KUHPerdata), dalam hal ini dapat ditetapkan jumlah yang harus disumbangkan oleh si isteri setiap tahun dari harta kekayaan pribadinya untuk biaya rumah tangga dan pendidikan anak anak.
2.      Persatuan hasil dan pendapatan (pasal 164 KUHPerdata), dalam hal ini harta persatuan hanya meliputi hasil dan pendapatan saja, tidak termasuk kerugian. Sehingga bila terjadi kerugian maka hal tersebut menjadi tanggung jawab suami sebagai kepala rumah tangga.
3.      Persatuan untung dan rugi (pasal 155 KUHPerdata), dimana segala keuntungan dan kerugian yang dialami selama perkawinan dipikul oleh suami dan isteri secara bersama sama. Sehingga bila perkawinan tersebut berakhir maka akan diadakan perhitungan dimana hasilnya (baik berupa keuntungan ataupun kerugian) akan dibagi dua.

Namun sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, dengan diberlakukannya Undang Undang Perkawinan (UUP), ruang lingkup perjanjian perkawinan diperluas tidak hanya menyangkut tentang harta kekayaan saja melainkan dapat memuat segala hal yang dianggap perlu oleh masing-masing pihak sepanjang tidak melanggar undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

Dalam perkembangan dimasyarakat, perluasan ruang lingkup tersebut mulai dimanfaatkan sehingga perjanjian perkawinan yang dibuat tidak hanya berfokus pada soal harta, tetapi juga mengenai kepedulian seberapa banyak dan seberapa lama dukungan yang akan didapat dari pasangan. Dengan meningkatnya taraf hidup, banyak pula calon pasangan memasukan tentang minat dalam perjanjian perkawinan sebagai contoh tetap diijinkan menekuni hobi ataupun koleksi yang tidak bisa dibilang murah. Beberapa pasangan mencantumkan pula tentang hak perwalian anak bila terjadi perceraian, termasuk didalamnya tentang tunjangan hidup untuk anak dan mantan isteri. Namun secara garis besar, perjanjian perkawinan selalu identik dengan perpisahan harta kekayaan dalam perkawinan. 

Selain larangan umum yang berlaku bagi setiap perjanjian untuk memasukan pasal-pasal yang melanggar ketertiban umum atau kesusilaan, KUHPerdata juga memuat beberapa pasal tentang apa yang tidak boleh dimasukkan dalam perjanjian perkawinan. Salah satunya adalah larangan untuk membuat perjanjian yang menghapuskan kekuasaan suami sebagai kepala keluarga di dalam perkawinan atau kekuasaannya sebagai ayah atau menghilangkan hak hak seorang suami atau isteri yang ditinggal mati. Selanjutnya ada larangan untuk membuat suatu perjanjian yang menyatakan bahwa suami akan memikul suatu bagian yang lebih besar dalam aktiva daripada bagian dalam pasiva. Akhirnya ada juga larangan untuk memperjanjikan bahwa hubungan suami isteri tunduk terhadap hukum dari negara asing. 

            Perubahan atas isi dari perjanjian perkawinan setelah dilangsungkannya perkawinan tidak diperbolehkan menurut KUHPerdata (pasal 149) dengan cara apapun juga. Namun menurut UUP (pasal 29 ayat 4), perubahan tersebut dimungkinkan bila adanya persetujuan antara kedua belah pihak serta tidak merugikan pihak ketiga. Namun perubahan perjanjian perkawinan pada prakteknya jarang ditemui.

Syarat Syarat Sahnya Perjanjian Perkawinan

            Berdasarkan sistem hukum Indonesia, hukum perdata dapat berlaku melalui perjanjian antar para pihak. Hal ini berarti perjanjian yang dibuat oleh para pihak menetapkan diterimanya kewajiban hukum untuk dilaksanakan oleh para pihak dan mengikat pihak yang membuatnya. Dalam hal ini perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya dan perjanjian menciptakan hubungan hukum antara pihak–pihak yang membuatnya. Hubungan hukum mengandung kewajiban dan hak yang bertimbal balik antara para pihak.

Mengenai syarat-syarat perjanjian perkawinan tidak diatur secara jelas oleh UUP oleh karena itu, dalam pembuatan perjanjian perkawinan ini masih mengacu pada KUHPerdata. KUHPerdata hanya menetapkan beberapa ketentuan yang disyaratkan untuk membuat perjanjian perkawinan.

a. Syarat-syarat yang mengenai diri pribadi
Perjanjian perkawinan merupakan suatu perjanjian antar pihak sebagaimana telah dijelaskan diatas, karenanya harus memenuhi persyaratan umum suatu perjanjian, kecuali dalam peraturan khusus ditentukan lain. Sedangkan syarat-syarat sahnya suatu perjanjian (pasal 1320 KUHPerdata) adalah :
-         harus disetujui oleh masing masing pihak
-         masing masing pihak harus cakap dimata hukum
-         isi perjanjian harus tentang hal yang tertentu dan
-         isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang berlaku

Mengenai kecakapan untuk mengikat diri, oleh KUHPerdata telah ditetapkan bahwa orang yang telah dewasa (berumur 21 tahun) mempunyai kecakapan bertindak, yang meliputi tindakan untuk mengikatkan diri secara sah kepada orang lain. Hal ini juga berlaku dalam pembuatan akta perjanjian kawin, calon suami-istri yang telah mencapai umur 21 tahun berwenang untuk membuat perjanjian.

Namum khususnya dalam pembuatan perjanjian kawin, KUHPerdata pasal 151 memberikan kemungkinan bagi mereka yang belum mencapai usia dewasa, untuk membuat perjanjian, asalkan:

  • Yang bersangkutan telah memenuhi syarat untuk melangsungkan pernikahan.
  • Dibantu oleh mereka yang izinnya diperlukan untuk melangsungkan pernikahan.
  • Jika perkawinannya berlangsung dengan izin hakim, maka rencana perjanjian kawin tersebut (konsepnya) harus mendapat persetujuan pengadilan.


b. Syarat-syarat mengenai cara pembuatan dan mulai berlakunya perjanjian perkawinan. Pasal 147 KUHPerdata dengan tegas menetapkan, perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris dengan ancaman kebatalan. Hal itu dimaksudkan agar perjanjian perkawinan dituangkan dalam bentuk akta otentik, karena perjanjian perkawinan mempunyai konsekuensi luas dan dapat menyangkut kepentingan keuangan yang besar sekali.

Perjanjian Perkawinan mulai berlaku antara suami dan isteri, pada saat pernikahan ditutup di depan Pegawai Pencatatan Sipil dan mulai berlaku terhadap orang-orang pihak ketiga sejak hari pendaftarannya pada pegawai pencatatan yang berwenang. Setelah perjanjian dibuat, orang tidak diperbolehkan untuk menyimpang dari hal-hal yang telah ditetapkan dalam perjanjian tersebut. 

Suatu perjanjian perkawinan harus diikuti langsung oleh perkawinan antara kedua belah pihak. Sehingga jika salah satu pihak menikah dengan orang lain terlebih dahulu dengan orang lain yang kemudian diikuti dengan pernikahan dengan orang yang mana perjanjian perkawinan tersebut dibuat maka perjanjian tersebut tidak dapat berlaku.

Syarat utama sahnya suatu perjanjian perkawinan adalah harus dibuat sebelum atau pada saat dilangsungkannya perkawinan. Ketentuan ini menimbulkan pertanyaan bagi mereka yang beragama non-Islam karena sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang bahwa perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya yang pada praktiknya kemudian akan diteruskan kepada pegawai pencatatan yang mana perkawinan tersebut akan dicatat secara resmi dan oleh kantor pencatatan sipil akan dikeluarkan suatu akta perkawinan. Bagi mereka yang beragama Islam, pegawai pencatatan yang dimaksud adalah pegawai KUA yang hadir dalam pernikahan mereka. Namun lain halnya  pada mereka yang beragama non-Islam dimana dalam upacara pernikahan mereka (yang sesuai dengan agama masing-masing), pegawai pencatatan sipil tidak hadir dan setelah upacara pernikahan tersebut selesai, suami dan isteri baru akan mencatatkan perkawinan mereka pada kantor catatan sipil.

Permasalahan yang terjadi adalah bilamana pencatatan perkawinan tersebut dilakukan pada hari yang berbeda. Dapatkan suatu perjanjian perkawinan dilaksanakan setelah upacara perkawinan namun sebelum perkawinan tersebut dicatatkan pada pegawai pencatatan sipil tersebut? Mengingat ketentuan yang tercantum pada UUP pasal 2 ayat (1) tentang sahnya suatu perkawinan bila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan adalah agama yang dianut oleh calon mempelai. Namun demikian, perkawinan itu harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika tidak dicatatkan, maka walaupun sah menurut hukum agama, perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara karena menurut hukum negara pencatatan juga merupakan syarat sahnya perkawinan bukan sekedar tindakan administratif saja.

Namun dalam praktik di masyarakat, tanggal perkawinan yang diakui secara umum adalah tanggal perkawinan yang tercantum dalam akta perkawinan ataupun buku nikah sehingga akta perkawinan tersebut dianggap sebagai suatu bukti formil. Dalam praktek pengadilan terdapat pendapat bahwa sah tidaknya suatu perkawinan hanya tergantung kepada hukum masing masing agama dan kepercayaannya, sedangkan pencatatan perkawinan hanyalah merupakan tindakan administratif saja.

4 comments:

  1. artikel bagus... sgt membantu... thx...
    http://www.legalakses.com/perjanjian-perkawinan/

    ReplyDelete
  2. Terimakasih buat penjelasannya,
    Saya mau bertanya gan, apa berlaku surat perjanjian untuk menikahi seseorang jika surat perjanjian itu dibuat dalam kertas biasa dan memakai materai 6000 tanpa adanya ikut campur oleh notaris dan hanya ditanda tangani satu pihak laki-laki saja.
    Tolong penjelasannya

    ReplyDelete
  3. izin bertanya ...
    bagaimana perjanjian perkawinan jika di tinjau dari pasal 140
    KUHPerdata. sebelumnya terimakasih

    ReplyDelete