Isi Perjanjian Perkawinan
Mengenai bentuk
dan isi perjanjian perkawinan, sebagaimana halnya dengan perjanjian-perjanjian
lain pada umumnya dimana kepada kedua belah pihak diberikan kemerdekaan seluas
luasnya kecuali beberapa larangan yang termuat dalam undang-undang dan tidak
melanggar ketertiban umum atau kesusilaan.
Suatu
perjanjian perkawinan misalnya, dapat berupa hanya menyingkirkan suatu benda
saja (misalnya suatu rumah) dari percampuran kekayaan, tetapi dapat juga
menyingkirkan segala percampuran kekayaan. Dalam KUHPerdata, ada tiga
kemungkinan dari isi perjanjian perkawinan yaitu :
1.
Tidak ada sama sekali persatuan harta
kekayaan (pasal 140 ayat 2 KUHPerdata), dalam hal ini dapat ditetapkan jumlah
yang harus disumbangkan oleh si isteri setiap tahun dari harta kekayaan
pribadinya untuk biaya rumah tangga dan pendidikan anak anak.
2.
Persatuan hasil dan pendapatan (pasal
164 KUHPerdata), dalam hal ini harta persatuan hanya meliputi hasil dan
pendapatan saja, tidak termasuk kerugian. Sehingga bila terjadi kerugian maka
hal tersebut menjadi tanggung jawab suami sebagai kepala rumah tangga.
3.
Persatuan untung dan rugi (pasal 155
KUHPerdata), dimana segala keuntungan dan kerugian yang dialami selama
perkawinan dipikul oleh suami dan isteri secara bersama sama. Sehingga bila
perkawinan tersebut berakhir maka akan diadakan perhitungan dimana hasilnya
(baik berupa keuntungan ataupun kerugian) akan dibagi dua.
Namun
sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, dengan diberlakukannya Undang Undang Perkawinan (UUP), ruang lingkup
perjanjian perkawinan diperluas tidak hanya menyangkut tentang harta kekayaan
saja melainkan dapat memuat segala hal yang dianggap perlu oleh masing-masing
pihak sepanjang tidak melanggar undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Dalam perkembangan dimasyarakat,
perluasan ruang lingkup tersebut mulai dimanfaatkan sehingga perjanjian
perkawinan yang dibuat tidak hanya berfokus pada soal harta, tetapi juga
mengenai kepedulian seberapa banyak dan seberapa lama dukungan yang akan
didapat dari pasangan. Dengan meningkatnya taraf hidup, banyak pula calon
pasangan memasukan tentang minat dalam perjanjian perkawinan sebagai contoh
tetap diijinkan menekuni hobi ataupun koleksi yang tidak bisa dibilang murah.
Beberapa pasangan mencantumkan pula tentang hak perwalian anak bila terjadi
perceraian, termasuk didalamnya tentang tunjangan hidup untuk anak dan mantan
isteri. Namun secara garis besar, perjanjian perkawinan selalu identik dengan
perpisahan harta kekayaan dalam perkawinan.
Selain larangan
umum yang berlaku bagi setiap perjanjian untuk memasukan pasal-pasal yang
melanggar ketertiban umum atau kesusilaan, KUHPerdata juga memuat beberapa
pasal tentang apa yang tidak boleh dimasukkan dalam perjanjian perkawinan.
Salah satunya adalah larangan untuk membuat perjanjian yang menghapuskan
kekuasaan suami sebagai kepala keluarga di dalam perkawinan atau kekuasaannya
sebagai ayah atau menghilangkan hak hak seorang suami atau isteri yang
ditinggal mati. Selanjutnya ada larangan untuk membuat suatu perjanjian yang
menyatakan bahwa suami akan memikul suatu bagian yang lebih besar dalam aktiva
daripada bagian dalam pasiva. Akhirnya ada juga larangan untuk memperjanjikan
bahwa hubungan suami isteri tunduk terhadap hukum dari negara asing.
Perubahan
atas isi dari perjanjian perkawinan setelah dilangsungkannya perkawinan tidak
diperbolehkan menurut KUHPerdata (pasal 149) dengan cara apapun juga. Namun
menurut UUP (pasal 29 ayat 4), perubahan tersebut dimungkinkan bila adanya
persetujuan antara kedua belah pihak serta tidak merugikan pihak ketiga. Namun
perubahan perjanjian perkawinan pada prakteknya jarang ditemui.
Syarat Syarat Sahnya Perjanjian Perkawinan
Berdasarkan sistem hukum Indonesia, hukum perdata dapat berlaku melalui
perjanjian antar para pihak. Hal ini berarti perjanjian yang dibuat oleh para pihak
menetapkan diterimanya kewajiban hukum untuk dilaksanakan oleh para pihak dan
mengikat pihak yang membuatnya. Dalam hal ini perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi
para pihak yang membuatnya dan perjanjian menciptakan hubungan hukum antara pihak–pihak yang
membuatnya. Hubungan hukum mengandung kewajiban dan hak yang bertimbal balik
antara para pihak.
Mengenai
syarat-syarat perjanjian perkawinan tidak diatur secara jelas oleh UUP oleh
karena itu, dalam pembuatan perjanjian perkawinan ini masih mengacu pada
KUHPerdata. KUHPerdata hanya menetapkan beberapa ketentuan yang disyaratkan
untuk membuat perjanjian perkawinan.
a.
Syarat-syarat yang mengenai diri pribadi
Perjanjian
perkawinan merupakan suatu perjanjian antar pihak sebagaimana telah dijelaskan
diatas, karenanya harus memenuhi persyaratan umum suatu perjanjian, kecuali
dalam peraturan khusus ditentukan lain. Sedangkan syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian (pasal 1320 KUHPerdata) adalah :
-
harus
disetujui oleh masing masing pihak
-
masing
masing pihak harus cakap dimata hukum
-
isi
perjanjian harus tentang hal yang tertentu dan
-
isi
perjanjian tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang berlaku
Mengenai
kecakapan untuk mengikat diri, oleh KUHPerdata telah ditetapkan bahwa orang
yang telah dewasa (berumur 21 tahun) mempunyai kecakapan bertindak, yang
meliputi tindakan untuk mengikatkan diri secara sah kepada orang lain. Hal ini
juga berlaku dalam pembuatan akta perjanjian kawin, calon suami-istri yang
telah mencapai umur 21 tahun berwenang untuk membuat perjanjian.
Namum
khususnya dalam pembuatan perjanjian kawin, KUHPerdata pasal 151 memberikan
kemungkinan bagi mereka yang belum mencapai usia dewasa, untuk membuat
perjanjian, asalkan:
- Yang bersangkutan telah memenuhi syarat untuk melangsungkan pernikahan.
- Dibantu oleh mereka yang izinnya diperlukan untuk melangsungkan pernikahan.
- Jika perkawinannya berlangsung dengan izin hakim, maka rencana perjanjian kawin tersebut (konsepnya) harus mendapat persetujuan pengadilan.
b.
Syarat-syarat mengenai cara pembuatan dan mulai berlakunya perjanjian
perkawinan. Pasal 147 KUHPerdata dengan tegas menetapkan, perjanjian perkawinan
harus dibuat dengan akta notaris dengan ancaman kebatalan. Hal itu dimaksudkan
agar perjanjian perkawinan dituangkan dalam bentuk akta otentik, karena
perjanjian perkawinan mempunyai konsekuensi luas dan dapat menyangkut
kepentingan keuangan yang besar sekali.
Perjanjian
Perkawinan mulai berlaku antara suami dan isteri, pada saat pernikahan ditutup
di depan Pegawai Pencatatan Sipil dan mulai berlaku terhadap orang-orang pihak
ketiga sejak hari pendaftarannya pada pegawai pencatatan yang berwenang.
Setelah perjanjian dibuat, orang tidak diperbolehkan untuk menyimpang dari
hal-hal yang telah ditetapkan dalam perjanjian tersebut.
Suatu perjanjian perkawinan harus diikuti langsung oleh perkawinan
antara kedua belah pihak. Sehingga jika salah satu pihak menikah dengan orang
lain terlebih dahulu dengan orang lain yang kemudian diikuti dengan pernikahan
dengan orang yang mana perjanjian perkawinan tersebut dibuat maka perjanjian
tersebut tidak dapat berlaku.
Syarat
utama sahnya suatu perjanjian perkawinan adalah harus dibuat sebelum atau pada
saat dilangsungkannya perkawinan. Ketentuan ini menimbulkan pertanyaan bagi
mereka yang beragama non-Islam karena sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang
bahwa perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut hukum agama dan
kepercayaannya yang pada praktiknya kemudian akan diteruskan kepada pegawai
pencatatan yang mana perkawinan tersebut akan dicatat secara resmi dan oleh
kantor pencatatan sipil akan dikeluarkan suatu akta perkawinan. Bagi mereka
yang beragama Islam, pegawai pencatatan yang dimaksud adalah pegawai KUA yang
hadir dalam pernikahan mereka. Namun lain halnya pada mereka yang beragama non-Islam dimana
dalam upacara pernikahan mereka (yang sesuai dengan agama masing-masing),
pegawai pencatatan sipil tidak hadir dan setelah upacara pernikahan tersebut
selesai, suami dan isteri baru akan mencatatkan perkawinan mereka pada kantor
catatan sipil.
Permasalahan
yang terjadi adalah bilamana pencatatan perkawinan tersebut dilakukan pada hari
yang berbeda. Dapatkan suatu perjanjian perkawinan dilaksanakan setelah upacara
perkawinan namun sebelum perkawinan tersebut dicatatkan pada pegawai pencatatan
sipil tersebut? Mengingat ketentuan yang tercantum pada UUP pasal 2 ayat (1)
tentang sahnya suatu perkawinan bila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang
menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan adalah agama yang dianut oleh
calon mempelai. Namun demikian, perkawinan itu harus dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Jika tidak dicatatkan, maka walaupun sah
menurut hukum agama, perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara karena
menurut hukum negara pencatatan juga merupakan syarat sahnya perkawinan bukan
sekedar tindakan administratif saja.
Namun
dalam praktik di masyarakat, tanggal perkawinan yang diakui secara umum adalah
tanggal perkawinan yang tercantum dalam akta perkawinan ataupun buku nikah
sehingga akta perkawinan tersebut dianggap sebagai suatu bukti formil. Dalam
praktek pengadilan terdapat pendapat bahwa sah tidaknya suatu perkawinan hanya
tergantung kepada hukum masing masing agama dan kepercayaannya, sedangkan
pencatatan perkawinan hanyalah merupakan tindakan administratif saja.
artikel bagus... sgt membantu... thx...
ReplyDeletehttp://www.legalakses.com/perjanjian-perkawinan/
nice :)
ReplyDeleteTerimakasih buat penjelasannya,
ReplyDeleteSaya mau bertanya gan, apa berlaku surat perjanjian untuk menikahi seseorang jika surat perjanjian itu dibuat dalam kertas biasa dan memakai materai 6000 tanpa adanya ikut campur oleh notaris dan hanya ditanda tangani satu pihak laki-laki saja.
Tolong penjelasannya
izin bertanya ...
ReplyDeletebagaimana perjanjian perkawinan jika di tinjau dari pasal 140
KUHPerdata. sebelumnya terimakasih